Lingkaran Setan Jual Beli Jabatan!
Belum lama ini Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan operasi tangkap tangan atau OTT di Probolinggo, Jawa Timur. Dari operasi ini, KPK berhasil mengamankan 10 orang di sejumlah tempat di Probolinggo, termasuk Bupati Probolinggo, Puput Tantriana Sari, bersama suaminya yang juga anggota DPR, Hasan Aminuddin. Mereka diduga terlibat dalam kasus dugaan korupsi berupa jual beli jabatan untuk mengisi kursi kepala desa, dimana masing-masing kursi dihargai 20 juta rupiah. KPK telah menetapkan Puput bersama suaminya dan 20 orang lainnya sebagai tersangka terkait dengan kasus suap beli jabatan di Probolinggo.
Dalam empat tahun terakhir, penangkapan sejumlah kepala daerah oleh KPK terkait dugaan jual beli jabatan berulang kali terjadi. Pada bulan Mei 2021 lalu, KPK bersama Badan Reserse Kriminal Polri melakukan OTT terhadap Bupati Kabupaten Nganjuk, Novi Rahman Hidayat. Novi diduga menerima hadiah atau janji terkait pengurusan promosi atau jabatan di Pemerintah Kabupaten Nganjuk. Dari pemeriksaan, diduga para camat memberikan sejumlah uang kepada Bupati Nganjuk melalui ajudannya terkait mutasi dan promosi jabatan serta pengisian jabatan di tingkat kecamatan. Bahkan, setoran juga diberikan oleh pejabat di tingkat perangkat desa dengan jumlah setoran jutaan rupiah.
Sebelumnya, kasus-kasus terkait jual-beli jabatan juga mengemuka dan melibatkan aktor politik nasional, seperti kasus jual-beli jabatan di Kementrian Agama, yang menjerat ketua Umum sebuah partai pada tahun 2019 lalu. Daftar pimpinan daerah yang terlibat dalam praktik jual beli jabatan terus bertambah. Tidak ada jera. Dan seperti lingkaran setan, terus berulang tanpa putus. Yah, seperti lingkaran setan – sepanjang proses rekrutmen dan kontestasi pimpinan daerah masih diwarnai politik transaksional, maka sepanjang itu pula praktik jual beli jabatan masih akan terjadi.
Bukan rahasia lagi, di berbagai penjuru daerah di Indonesia, pemilihan dan pengangkatan pejabat dilakukan bukan karena kinerja dan prestasinya. Mereka yang dijadikan pejabat justru orang-orang yang punya kedekatan, melakukan kebiasaan asal bapak senang, tetapi tidak punya kompetensi untuk mengurus rakyat. Para kepala daerah juga saat kampanye untuk menaiki jenjang pucuk pimpinan, harus merogoh dalam-dalam pundi-pundinya, untuk membayar uang mahar kepada partai pendukung, serta melakukan politik uang dengan serangan fajar untuk mengambil hati para pemilih. Jadi, kalau mereka saat ini duduk di singgasana kekuasaan, sangat mudah dipahami, mereka akan melakukan segala upaya untuk mengembalikan dana yang sudah mereka keluarkan, termasuk di dalamnya jual beli jabatan. Di republik ini, kekuasaan adalah bisnis. Kekuasaan bukan sebuah mandat untuk mengupayakan kebaikan bagi rakyat.
Kasus Bupati Probolinggo, bupati Nganjuk adalah pengulangan dari kejadian yang sama yang menimpa bupati klaten, bupati cirebon dan bupati jombang. Mereka semua terjerat dalam lingkaran setan jual beli jabatan. Data dari Komisi ASN menunjukkan bahwa praktik jual beli jabatan ini diperkirakan masih terus terjadi yaitu 95% di tingkat kabupaten/kota, 89,5% di tingkat provinsi, 49% di lembaga dan 39,5% di tingkat kementerian.
Komisi ASN adalah komisi independen yang dibentuk untuk mengawasi masalah ASN, termasuk masalah karier jabatan. Data dari mereka juga menyebutkan bahwa dalam setahun saja, praktik jual-beli jabatan mencapai Rp 150 triliun. Angka yang fantastis, cukup untuk memenuhi belasan PAD puluhan kabupaten/kota.
Keterbukaan dalam seleksi pemilihan pejabat sampai hari ini masih menjadi barang mahal. Mekanisme pemberhentian dan pengangkatan pejabat karier kerap menjadi misteri. Padahal, jabatan seperti lurah, camat, atau kepala dinas bukan jabatan politik seperti memilih menteri yang menjadi hak prerogatif presiden.
[soundcloud id=’1116606598′ artwork=’true’ mini=’false’]
Ikuti media sosial Radio Heartline FM Tangerang: