Shoping Impulsif & Shoping Kompulsif
Radio Tangerang Heartline FM – Fenomena shopping impulsif kini semakin sering dibahas di tengah mudahnya akses belanja online. dr. Rondang Rosmawati Nababan, Sp. KJ dalam program Sketsa Keluarga Indonesia mengatakan istilah ini sebenarnya bukan berasal dari dunia psikiatri, melainkan dari para ahli pemasaran dan perilaku konsumen yang mengamati kebiasaan membeli secara tiba-tiba tanpa perencanaan. “Shopping impulsif terjadi ketika seseorang membeli barang karena dorongan sesaat, didorong oleh kemasan menarik, promosi besar, atau sekadar melihat tren di media social, kata Rondang.”
Rondang mengatakan pada tahap ini, perilaku tersebut belum tentu termasuk gangguan, selama tidak menimbulkan masalah keuangan maupun emosional. Namun, pemasaran digital yang agresif, kemudahan transaksi hanya dengan satu klik, hingga fitur cicilan dan tunda bayar membuat masyarakat semakin mudah terjebak pada perilaku impulsif.
Banyak orang kesulitan membedakan antara keinginan dan kebutuhan, sehingga barang-barang yang dibeli menumpuk tanpa terpakai. Ketika impuls belanja muncul terus-menerus, dilakukan tanpa pertimbangan, dan mulai mengganggu kondisi finansial atau produktivitas, perilaku ini dapat berkembang menjadi kompulsif. Pada titik ini, belanja bukan lagi kesenangan singkat, melainkan pelarian dari emosi negatif seperti stres, jenuh, kesepian, atau kecemasan.
Rondang menjelaskan perilaku belanja kompulsif memiliki pola yang khas: dorongan kuat untuk membeli, rasa lega sesaat setelah transaksi, lalu rasa bersalah dan penyesalan yang justru memicu tekanan emosional baru. Siklus inilah yang membuat seseorang kembali belanja untuk mengurangi ketidaknyamanan, tetapi kelegaan yang muncul hanya sementara. Dalam psikiatri, kondisi ini dapat masuk ke ranah adiksi perilaku karena mekanismenya serupa dengan kecanduan lain seperti judi atau kecanduan internet—melibatkan area otak yang mengatur dorongan dan regulasi emosi.
Ia mengatakan agar tidak terjerumus ke dalam siklus tersebut, penting untuk memiliki kesadaran diri serta pengelolaan keuangan yang baik. Membuat anggaran khusus, menuliskan jurnal belanja, dan menghindari berbelanja saat emosi sedang negatif adalah langkah sederhana yang efektif.
Dukungan keluarga atau teman juga membantu ketika seseorang sulit mengendalikan dorongannya. “Jika perilaku belanja sudah berlangsung kronis, mengganggu keuangan, atau dipicu masalah psikologis yang lebih dalam, bantuan profesional dapat dibutuhkan untuk membantu mengatur emosi dan memutus siklus kompulsif, kata Rondang.” Dengan memahami pemicu dan mengelola keinginan, setiap orang dapat menjaga kebiasaan belanjanya tetap sehat dan terkendali.
