Diskusi Publik: Benarkah Nasib Petani Tembakau dan Buruh Rokok Sejahtera di Tangan Industri Rokok?
Komnas Pengendalian Tembakau mengundang para pemangku kepentingan yang terlibat dalam kebijakan untuk pertanian tembakau, mulai dari anggota DPR, pemerintah, perserikatan petani, kelompok masyarakat, sampai petani tembakau itu sendiri. Dalam diskusi bertajuk “Benarkah Nasib Petani Tembakau dan Buruh Rokok Sejahtera di Tangan Industri Rokok?” ini, mereka diajak untuk menilik kembali segala permasalahan yang muncul dalam pertanian tembakau dan buruh industri tembakau yang sering disebut-sebut disebabkan oleh peraturan pengendalian konsumsi rokok.
Tembakau adalah komoditas utama dalam industri rokok. Meski digadang-gadang menjadi komoditas unggulan yang memiliki produktivitas tinggi, penyerapan hasil pertanian tembakau oleh industri justru menurun, padahal angka produksi rokok terus meningkat. Petani tembakau sebagai pemangku kepentingan utama dalam komoditas ini pun tidak jelas kesejahteraannya. Begitu pula dengan buruh pabrik rokok yang justru mengalami banyak pemutusan hubungan kerja dari pabrikan di saat produksi industri ini terus meningkat seiring terus naiknya konsumsi rokok. Secara kontraproduktif, alih-alih berupaya meningkatkan kesejahteraan petani tembakau dan buruhnya, industri justru memanfaatkan petani dan buruh sebagai “alat” politis dalam perlawanan menolak kebijakan-kebijakan yang mengatur industrinya.
Saat ini, sejalan dengan proses revisi Peraturan Pemerintah 109 tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan yang tengah berlangsung di pemerintahan, industri rokok terus melakukan penolakan dengan menggunakan berbagai wajah mengatasnamakan petani dan buruh. Di media, mereka mengeluarkan pernyataan-pernyataan untuk menolak PP109.
Faktanya, selain pengaruh cuaca yang semakin tidak menentu dan merusak perkebunan tembakau, petani tembakau sering dirugikan justru karena praktik tata niaga yang tidak adil yang dikendalikan oleh para tengkulak di bawah pabrik yang menyerap hasil perkebunan. Petani seringkali tidak bisa mengakses langsung gudang pabrikan dan tidak memiliki posisi tawar dalam menentukan harga jual hasil perkebunannya, dan industri terkesan tidak peduli pada keadaan tersebut.
“Saya sepakat, dalam konteks industri, petani tembakau belum mendapatkan keuntungan atau proporsi kesejahteraan yang cukup; (bisnis ini) hanya akan menguntungkan industri besar sedangkan petani tetap saja petani yang tidak sejahtera,” ungkap Anggia Erma Rini, Anggota Komisi IV DPR RI memulai diskusi.
Hal itu diperkuat oleh pernyataan Jopi Hendrayani, Ketua Asosiasi Petani Tembakau Swadaya Lombok, “Kata sejahtera hanya mimpi bagi kami petani Lombok swadaya, kami tidak punya pilihan, terpaksa harus tetap menanam tembakau di bawah tekanan dan permainan industri.”
Menurutnya, yang paling dibutuhkan petani tembakau di Lombok adalah dukungan-dukungan, seperti pembangunan irigasi dan sumur bor agar mereka bisa alih tanam daripada terus merugi karena menanam tembakau.
Terungkap dari paparan para narasumber dan petani sebagai pemantik diskusi, permasalahan pertanian tembakau tidak ada hubungannya dengan aturan-aturan pengendalian konsumsi tembakau.
Seperti yang disampaikan Yamidi, petani tembakau asal Posong, Temanggung, “Aturan kenaikan cukai atau pembatasan (konsumsi) tembakau tidak berpengaruh bagi kami. Kami justru mendapatkan keuntungan dari usaha diversifikasi yang kami lakukan, selain menanam tembakau.”
Nurhadi, peneliti dari Lembaga Demografi UI menyebutkan, permasalahan-permasalahan petani tembakau intinya berkisar pada masalah cuaca dan ketidakterserapan varietas yang ditanam, biaya yang sangat besar dalam bertani tembakau sehingga menjerat petani dalam hutang, serta ketidakberdayaan petani dalam tata niaga. Di sisi lain, pabrik rokok tidak memberikan informasi stok tembakau secara akurat dan transparan di gudang mereka, dan kemitraan dengan pabrikan pun tidak selalu menguntung petani.
Bagi buruh sendiri, yang menjadi permasalahan mereka sebenarnya adalah sistem kerja borongan (pada buruh linting), sistem buruh kontrak, upah yang rendah dan tidak merata, dan tidak adanya jaminan sosial. Terjadinya PHK yang tinggi akhir-akhir ini juga diperkirakan diakibatkan oleh tingginya permintaan sigaret kretek mesin yang tidak lagi membutuhkan tenaga manusia dalam produksinya.
Sementara itu, berkurangnya jumlah pabrik rokok yang seluruhnya adalah industri rumahan yang terkena aturan administratif bukan karena pengetatan aturan pengendalian konsumsi rokok. Karena faktanya juga, konsumsi dan produksi rokok per batang justru terus meningkat. Ini artinya, berkurangnya jumlah pabrikan bukan berarti pengurangan jumlah konsumsi dan produksi.
Dalam kesempatan yang sama, Angga Hermanda, Dewan Pengurus Pusat Serikat Petani Indonesia menambahkan, “Sebenarnya, kita sudah terjebak dalam sistem perdagangan yang membuat petani lemah. Ketika produksi dari pertanian tembakau berkurang, harusnya jangan membuat industri rokok lalu impor tembakau. Ditambah lagi dengan ancaman tembakau sintetis. Kebijakan internasional dibutuhkan untuk mengatur dan membatasinya, termasuk pada kebijakan pengendalian tembakau.”
Menanggapi apa yang disampaikan oleh para narasumber dan pemantik, Yuli Adoratna, Direktur Bina Riksa Kementerian Ketenagakerjaan, dalam kesimpulannya, menyepakati bahwa industri dan peredaran hasil tembakau harus dikendalikan demi perlindungan generasi Indonesia. Untuk mendukungnya, pengendalian tembakau harus dibarengi dengan program-program peningkatan kapastitas tenaga kerja.
Pada akhir diskusi, Widyastuti Soerojo sebagai Pengurus Komnas Pengendalian Tembakau menyampaikan rasa prihatin dan simpatinya kepada petani dan buruh rokok atas politisasi terhadap mereka yang digunakan untuk melawan upaya pengendalian konsumsi rokok. Widyastuti memberikan kesimpulan bahwa, pada akhirnya, masalah-masalah yang dihadapi petani dan buruh rokok memang tidak ada hubungannya dengan aturan-aturan pengendalian konsumsi rokok.
“Musuh besar petani adalah cuaca dan tata niaga tembakau. Bukan karena PHW (pictorial health warning), larangan iklan, KTR (kawasan tanpa rokok), dan seterusnya. Jadi, tidak ada hubungan dengan revisi PP109/2012 secara keseluruhan. Maka, jika selama ini, upaya pengendalian tembakau dituduh akan mematikan petani dan buruh rokok, hari ini kita telah mendengarkan sendiri dari berbagai pihak bahwa itu tidak benar,” tegasnya menutup diskusi.(yp)
Ikuti media sosial Radio Heartline FM Tangerang: