16 June 2025
Sapardi Djoko Damono

Bulan Juni Milik Sapardi

Radio Lampung Heartline FM – Puisi dan karya sastra telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kebudayaan Indonesia. Sejumlah nama besar pun bermunculan, dari Chairil Anwar hingga W.S. Rendra. Uniknya, banyak penyair Indonesia memiliki frasa khas yang melekat erat dengan identitas mereka. Chairil Anwar dikenal dengan “jalang”, Amir Hamzah dengan “sunyi”, Seno Gumira dengan “senja”, Joko Pinurbo dengan “celana”, dan tentu saja, Sapardi Djoko Damono dengan “hujan”.

Nama Sapardi Djoko Damono tak asing lagi di telinga para pecinta sastra. Ia bukan hanya penyair, tetapi juga sastrawan dan guru besar ilmu sastra. Karya-karyanya telah memberi warna baru bagi sastra modern Indonesia. Puisi-puisinya yang cenderung teduh dan basah, menjadikannya lebih dikenal sebagai “penyair rakyat” ketimbang W.S. Rendra, menurut kritikus Nirwan Dewanto.

Sapardi dikenal dengan gaya bahasa yang indah, spontan, dan sederhana. Karya-karyanya diterima luas, tak hanya di dalam negeri, tetapi juga di mancanegara. Beberapa karya terkenalnya antara lain: Pada Suatu Hari Nanti (2013), Yang Fana adalah Waktu (2018), Perahu Kertas (2018), Melipat Jarak (2018), dan tentu saja, Hujan Bulan Juni — sajak yang paling fenomenal.


Makna Mendalam dalam Kesederhanaan

Berikut kutipan lengkap puisi Hujan Bulan Juni:

tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan Juni
dirahasiakannya rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu

tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan Juni
dihapusnya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu

tak ada yang lebih arif
dari hujan bulan Juni
dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu

Puisi ini mengandung simbolisme yang dalam. Hujan dalam bulan Juni—yang secara iklim biasanya musim kemarau di Jawa—menjadi metafora perasaan yang ditahan dengan tabah. Pohon berbunga bisa melambangkan harapan, cinta, atau seseorang yang dirindukan. Ada nuansa rindu, penyesalan, hingga kebijaksanaan dalam diam yang tertanam dalam bait-baitnya.

Diksi Sapardi sederhana, tetapi sarat makna. Ia menyampaikan emosi yang dalam tanpa perlu kata-kata rumit. Ini kontras dengan puisi-puisi generasi sebelumnya yang lebih berani dan tajam.


Dari Puisi ke Musik dan Layar Lebar

Sapardi menulis puisi ini berdasarkan pengalamannya semasa muda di Yogyakarta dan Solo. Ia mengingat betul betapa bulan Juni-Juli terasa kering dan sunyi—tanpa hujan. Maka, hadirnya hujan dalam puisi ini seperti membawa keajaiban kecil dalam kenangan pribadinya.

Tak lama setelah puisi itu selesai ditulis, M. Umar Muslim menggubahnya menjadi lagu yang kemudian dinyanyikan oleh Ari Malibu dan Reda Gaudiamo. Lagu tersebut menjadi bagian dari album musikalisasi puisi Hujan Bulan Juni, didukung oleh Ford Foundation. Album ini begitu populer hingga beberapa kali dirilis ulang.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bahkan menjadikan lagu-lagu dari album ini sebagai materi dalam lomba musikalisasi puisi. Salah satunya, “Aku Ingin”, sempat dibawakan oleh Ratna Octaviani dan menjadi soundtrack film Cinta dalam Sepotong Roti (1991).


Sajak yang Menyatu dengan Pembaca

Sapardi menerima Bakrie Awards pada tahun 2003 untuk kategori kesusastraan. Dalam pidatonya, ia menyebut bahwa penyair tidak selalu tahu mengapa ia menulis puisi tertentu. Bagi Sapardi, puisi bukanlah jawaban, melainkan ruang ambigu yang mengundang tafsir tak berujung. Ia pun menyerahkan makna puisi-puisinya kepada pembaca.

Bahkan untuk membacakan puisi yang telah selesai, menurut Sapardi, itu bukan lagi tugas sang penyair. Sajak yang selesai ditulis telah hidup sendiri di dunia pembacanya.


Warisan Abadi

Sapardi Djoko Damono telah berpulang pada 19 Juli 2020, namun karya-karyanya tetap hidup dan dicintai. Hujan Bulan Juni bukan hanya sajak, melainkan bagian dari perjalanan emosional banyak orang. Ia menjadi simbol dari perasaan yang tak terucap, dari kebijaksanaan dalam diam, dan dari keindahan dalam kesederhanaan.

Ikuti media sosial Radio Heartline FM Tangerang: